Selasa, 24 November 2009

JAKARTA PANTAS BERTERIMA KASIH KEPADA MANUSIA GORONG –GORONG


JAKARTA PANTAS BERTERIMA KASIH KEPADA MANUSIA GORONG –GORONG


Apa itu manusia gorong- gorong? Apa yang membuat Jakarta pantas berterima kasih padanya? Berikut informasi yang kami peroleh dari
KOMPAS.com dari Agnes Rita S dan Neli Triana . Sabtu, 21 November 2009.

Seorang pekerja menyelesaikan pelebaran saluran air di Jalan Ciledug Raya, Cipulir, Jakarta Selatan, Selasa (17/12). Pelebaran tersebut untuk meningkatkan daya tampung sehingga bisa meminimalisasi genangan air saat hujan turun.

Manusia Gorong-gorong, Buat Air Lancar Mengalir. Drainase tersumbat sampah sudah lumrah di Jakarta, sama seperti kebiasaan warganya membuang sampah sembarangan. Ketika banjir terjadi akibat tabiat buruk itu, ”manusia gorong-gorong” tampil sebagai penyelamat.

Padahal, pekerjaan mereka sering menjadi bahan cibiran, sekaligus memancing umpatan pengguna jalan. Di sepotong ruas jalan sempit seperti di depan Pasar Cipulir, Jakarta Selatan, dan di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, awal pekan ini hampir seperempatnya tersita gundukan lumpur.

Namun, tanpa memedulikan omongan orang, mereka tetap bekerja. Seperti Dikun (55) dan teman-temannya di Jalan Wahid Hasyim. Pada tengah hari itu mereka giat mengeruk dan memasukkan sampah berlumpur ke dalam karung.

Setiap hari, manusia gorong-gorong bersentuhan dengan selokan sejak pukul 08.00 dan rampung pukul 16.00. Saat mendung tebal dan hujan turun, semakin berat kerja mereka mengangkuti endapan agar volume air yang tertampung di selokan bisa semakin banyak.

”Istirahat paling-paling satu jam. Setelah itu kerja lagi. Kalau hari hujan, kerja kami tidak berhenti. Hanya kami tidak berkubang di dalam selokan, melainkan menjaring sampah yang hanyut,” ucap Dikun, bapak empat anak itu.

Jaring yang dimaksud Dikun adalah tutup kipas angin yang dimodifikasi sebagai penjaring. Sebagai pegangan, sebilah bambu dipasangkan di tutup kipas angin. Dengan alat itulah Dikun dan enam rekannya bekerja saat hujan turun. Para petugas ini dilengkapi dengan sepatu bot.

Sebelum hujan, ia dan tiga rekan lain masuk ke selokan yang kedalamannya sekitar 2 meter. Selokan di sepanjang Jalan Wahid Hasyim tidak terlihat karena dijadikan selokan tertutup. Bagian atas selokan dijadikan trotoar yang kadang kala dilewati sepeda motor.

Di bawah trotoar itulah Dikun berjibaku mengangkati endapan yang juga sudah berwarna hitam. Ia berdiri di atas lumpur yang mengendap. Kedalaman endapan 25 sentimeter dan kedalaman air di atas endapan sekitar 30 sentimeter.

Triyono (25), rekan Dikun, bertugas mengangkat endapan dengan cangkul. Dikun memegangi karung. Setelah karung terisi sepertiga, Dikun segera mengoper karung kepada dua rekan lain. Karung lalu diangkat ke atas lewat pintu masuk gorong-gorong dan ditaruh di trotoar. Setelah tumpukan karung menggunung, biasanya truk milik Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengambil dan membawa ke tempat pembuangan.

Setiap orang di tim itu bergiliran mendapatkan tugas di dalam selokan atau di luar. ”Kalau tidak bergantian, kasihan teman yang ada di dalam selokan. Di dalam, bau air dan sampah sangat menyengat. Lagi pula sumpek karena ada di dalam ruang yang agak tertutup,” ucap Joko (29), rekan Dikun.

Tak punya pilihan

Nano (31), pembersih selokan di depan Pasar Cipulir, mengatakan, bermacam-macam kesulitan menghadang mereka setiap kali terjun membersihkan gorong-gorong. Saat berada di dalam saluran, mereka terkadang tiba-tiba bertemu dengan tonggak beton penopang bangunan di atasnya. Belum lagi kabel-kabel atau pipa-pipa milik Telkom, PDAM, PLN, saluran telepon seluler, dan lainnya berseliweran mempersulit pembersihan sampah di dalam saluran.

”Yang jelas, kalau ketemu kecoak atau tikus sudah biasa. Terkena gigitan pasti pernah. Yang parah, waktu awal tahun menggali di sini, saya digigit kelabang. Sakit banget. Tetapi, karena masih bisa kerja, lupakan saja sakitnya,” kata Nano.

Pada siang hari, tas plastik hitam besar berisi nasi bungkus diturunkan dari mobil patroli Dinas PU. Mereka segera berebut mengambil jatah dan bersantap, sambil duduk santai di atas gundukan galian atau di emper jalan. Serok dari anyaman bambu, cangkul, dan alat lain dibiarkan berserak sejenak.

Para pembersih saluran air itu rata-rata datang dari luar Jakarta, seperti Cilacap dan Tegal di Jawa Tengah atau dari beberapa daerah di Jawa Barat. Mereka tak punya sawah di kampung halaman. Melaut pun tak menjanjikan. Mereka umumnya sejak remaja sudah merantau, bekerja sebagai tukang bangunan atau memang spesialis tukang gali.

Joko, misalnya, sudah sembilan tahun bekerja sebagai tukang gali. Apalagi pembersihan saluran air semakin rutin dilaksanakan sejak 2005, bahkan pada musim kemarau. Mereka berstatus pekerja kontrak atau buruh harian lepas untuk Dinas PU, khususnya di Suku Dinas PU Tata Air. Jumlah penggali ratusan orang dan tersebar di lima wilayah kota di Jakarta. Mereka dibayar Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan.

Para pembersih gorong-gorong tak peduli berbagai risiko negatif. Pekerjaan itu merupakan satu-satunya pilihan sumber nafkah. Namun, tanpa disadari, mereka juga ”menghidupi” Jakarta, terutama dengan mengurangi kemungkinan banjir. Berkat mereka, air di sejumlah kawasan mengalir lancar, tak tumpah ke jalan dan permukiman.”

Hal lain yang dapat kita ambil contoh seperti kisah sekelompok ibu di RW 7 dan RW 8 Kelurahan Lenteng Agung. Berikut informasinya : 



Para ibu di RW 7 dan RW 8 Kelurahan Lenteng Agung dinobatkan sebagai tulang punggung kebersihan lingkungan oleh para warganya. Mereka yang tergabung dalam Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) aktif membersihkan lingkungan di bantaran hulu Kali Ciliwung.

Ketua RW 7 Sutarno mengatakan, awalnya pembersihan bantaran kali sulit dilakukan karena warga sendiri masih rendah tingkat kesadarannya. Namun, ketika ada larangan dari Pemprov DKI Jakarta untuk membuang sampah di bantaran kali, termasuk ke sungai, warga mulai mengerti. Bahkan, para ibu mulai memelopori.

"Penunjang di sini ibu-ibu. Karena mereka kan banyak di rumah. Mereka kreatif juga, contohnya siapa yang enggak ikut kerja bakti denda, tapi uangnya untuk kas," tutur Sutarno ketika ditemui di bantaran Kali Ciliwung, Sabtu (21/11).

Para ibu juga menjadi pegiat ketika lahan kosong di bantaran kali yang biasa dipakai sebagai tempat pembuangan sampah harus ditutup. Mereka membersihkan dan membakar sampah bersama.

Menurut Ketua PKK RW 7, Tri, para ibu pada dasarnya juga aktif dalam kegiatan Jumat bersih setiap dua minggu sekali. Di RW-nya ada sekitar 60-70 ibu-ibu yang aktif dan peduli membersihkan lingkungan. Mereka sendiri yang akhirnya merasakan manfaatnya secara langsung, baik untuk diri sendiri maupun keluarga.

"Tiap rakor kita sering didatangi puskesmas, dikasih tahu di RT ini yang kena demam berdarah sekian. Misalnya Lenteng Agung garis merah. Tapi kalau bersih jadi menurun," ungkap istri Sutarno ini.

Sementara itu, Narsiah, warga Jalan Camat Gabun II RT 3 RW 8, mengaku senang ketika disiplin tak membuang sampah ke kebun di bantaran kali. Sejak tiga bulan lalu, mereka sudah belajar disiplin membuang sampah di suatu tempat untuk segera diangkut oleh truk pengangkut sampah milik Pemprov.

"Ya kita senang juga, orang biar kalinya bersih," tuturnya.


Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa peran “manusia gorong – gorong” dan seperti beliau lainnnya sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah sampah di Jakarta serta banjir selama ini, dimana kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan masih sangat rendah. Untuk itu mari bersama kita menjaga kebersihan lingkungan hidup kita hingga tidak menimbulkan penyesalan yang akan datang.




Referensi : www.KOMPAS.com tanggal 21 November 2009.